Pada zaman dahulu, ada seorang petani miskin memiliki seekor kuda putih yg sangat cantik dan gagah. Suatu hari, seorang saudagar kaya ingin membeli kuda itu dan menawarkan harga yg sangat tinggi.
Akan tetapi, si petani miskin itu tidak berniat untuk menjualnya. Teman-temannya menyayangkan dan mengejek dia atas keputusannya untuk tidak menjual kudanya itu.
Keesokan harinya, kuda itu hilang dari kandangnya. Maka, teman-temannya berkata, “Sungguh jelek nasibmu! Padahal, kalau kemarin kudamu dijual, tentu kamu akan kaya, tapi sekarang kudamu sudah hilang.”
Si petani miskin hanya diam.
Beberapa hari kemudian, kuda si petani itu kembali bersama lima ekor kuda lainnya. Lalu teman-temannya berkata, “Wah, beruntung sekali nasibmu, ternyata kudamu membawa keberuntungan.”
Si petani hanya diam.
Beberapa hari kemudian, anak si petani yg sedang melatih kuda-kuda baru mereka terjatuh dan kakinya patah. Teman-temannya berkata, “Rupanya, kuda-kuda itu membawa sial, lihat sekarang kaki anakmu patah.”
Si petani tetap diam tanpa komentar.
Seminggu kemudian terjadi peperangan di wilayah itu. Semua anak muda di desa dipaksa untuk berperang, kecuali si anak petani miskin karena tidak bisa berjalan.
Teman-temannya mendatangi si petani sambil menangis, “Beruntung sekali nasibmu karena anakmu tidak ikut berperang, sementara kami harus kehilangan anak-anak kami.”
Si petani kemudian berkomentar, “Jangan terlalu cepat membuat kesimpulan dengan mengatakan nasib baik atau jelek. Semuanya adalah rangkaian proses. Syukuri dan terima keadaan yg terjadi saat ini, apa yg kelihatan baik hari ini belum tentu baik untuk hari esok. Apa yg buruk hari ini belum tentu buruk untuk hari esok.”